Politisasi agama kini menjadi hal yang penting untuk dikaji dalam dunia pendidikan. Pasalnya, politisasi agama sendiri dapat dimaknai dalam 2 sudut
pandang, yaitu positif dan negatif. Hal tersebut dapat dianggap positif ketika memiliki orientasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Namun, akhir-akhir ini politisasi agama dimaknai menjadi suatu hal yang negatif lantaran terdapat penyelewengan nilai-nilai agama seperti radikalisme.
Menanggapi hal tersebut, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bekerjasama dengan Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) dan Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisisan Negara Republik Indonesia menggelar Seminar dengan tema “Perspektif Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan Terhadap Politisasi Agama”, Sabtu (31/03/2018).
Dihadiri lebih dari 400 orang peserta, seminar diselenggarakan di Ruang Seminar Lantai 7, Gedung Induk Siti Walidah UMS. Dengan menghadirkan beberapa tokoh seperti Dr. Sofyan Anif, M.Si selaku rektor UMS, Dr. (HC) Ir. KH. Salahuddin Wahid selaku tokoh NU sekaligus rektor UNHASY, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H, S.U dan Guru Besar Prof. Purwo Santoso, M.A, P.hD selaku Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mengawali acara, rektor UMS dalam sambutannya menyampaikan bahwa masyarakat harus bersatu tidak hanya meluruskan fenomena yang salah. Tapi juga memberikan warna. Karena bagaimanapun bangsa kita merdeka karena ada tangan ulama dan umat Islam. Maka sekarang kita harus bangkit berkontribusi pada bangsa dan negara. Oleh karena itu, baik UMS maupun UNHASY mendukung pembahasan politisasi agama dari dua perspektif organisasi masyarakat (ormas) besar di Tanah Air ini.
Sejalan dengan yang disampaikan rektor UMS, Dr. (HC) Ir. KH. Salahuddin Wahid mengungkapkan bahwa latar belakang dari kerjasama ini salah satunya untuk memberikan pemahaman bahwa tidak selamanya politisasi agama bersifat negatif. “Jadi kita harus memahami, bahwa tidak selamanya politisasi agama itu negatif. Memang terakhir ini kita menangkap bahwa politisasi agama itu bersifat negatif, bersifat kepentingan kelompok, bersifat kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan bahwa dalam seminar ini diharapkan para peserta dapat mulai memilah mana politisasi agama yang positif dan negatif. “Itulah yang harus kita bahas, harus kita rumuskan, kita rinci. Mana yang positif, mana yang negatif. Tidak bisa kita pukul rata,” tambahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, praktik politisasi agama sudah dilakukan sejak zaman perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Saat itu tokoh ulama NU dipimpin oleh Kyai Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa wajib hukumnya bagi pemuda muslim berperang membantu Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Itu kan politisasi agama. Tanpa ada politisasi agama, tidak ada kesadaran untuk ikut berperang. Nah, itu baik. Politisasi agama dengan tujuan membela Negara itu boleh,” ungkapnya.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H, S.U bahwa memang ada penafsiran negatif seakan-akan praktik politisasi agama itu salah. Namun Prof Mahfud menegaskan praktik politisasi agama justru dilakukan para tokoh ulama untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kalau para tokoh ulama ini, Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari tidak melakukan politisasi agama, kira-kira Indonesia tidak akan ada,” ujarnya.
Menurut Prof. Mahfud, Indonesia sudah dibangun dengan nilai-nilai agama. Artinya, ikut campur agama tidak mungkin lepas dari pembangunan Negara ini. Itulah yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila yang paling mendasar. “Nilai-nilai ketuhanan itu bisa diperjuangkan di negeri ini. Berdasarkan prinsip toleransi dalam beragama yang dinamakan pluralisme. Nilai-nilai agama itu sudah masuk di dalamnya,” sambungnya.
Pada kesempatan yang sama selain sebagai forum diskusi, seminar ini juga digunakan sebagai momen penting penandatanganan MoU kesepahaman pemikiran antara UMS dengan Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari UNHASY. Isi dari MoU tersebut merupakan sebuah kerjasama antara kedua Perguruan Tinggi Islam tersebut dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. MoU tersebut ditandatangani secara langsung oleh Rektor UNHASY dan Rektor UMS.
Dr. Sofyan Anif, M.Si manyampaikan bahwa Perguruan Tinggi Islam harus dapat menjadi perguruan tinggi yang berkualitas, maju, dan unggul. Sebab, hal ini didasari karena sebelumnya para ulama telah berjuang dengan keras dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia. “Perguruan Tinggi Islam itu harus berkualitas, harus maju, harus unggul. Karena kalau kita belajar sejarah, para ulama sudah tidak diragukan bagaimana berjuangnya sampai pada kemerdekaan Indonesia,” ucapnya. (Eko/Khairul – Editor. Ahmad)